Makalah Etika Profesi | Tindak Pidana Penipuan Cybercrime

judul : Tindak Pidana Penipuan Cybercrime
Matkul : Etika Profesi

Image result for cybercrime

Tugas Kuliah Etika Profesi

Tindak Pidana Penipuan Cybercrime | Etika Profesi

LATAR BELAKANG
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer dilandasi oleh perkembanganyang terjadi pada bidang mikro elektronika, material, dan perangkat lunak. Teknologi komputer adalah berupa computer network yang kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang dikenal dengan internet. Penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi, dan informasi tersebut mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di dunia. Perusahaan- perusahaan berskala dunia semakin banyak memanfaatkan fasilitas internet.
Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet juga mengundang terjadinya kejahatan. Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime.
Cybercrime adalah suatu bentuk kejahatan virtual dengan memanfaatkan media komputer yang terhubung ke internet, dan mengekploitasi komputer lain yang terhubung dengan internet juga. Rene L. Pattiradjawane menyebutkan bahwa konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan cyberline yang dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60 juta), yang melibatkan 160 negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi hukum untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap milik pribadi. John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime memiliki sifat efisien dan cepat serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap pelakunya.
Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime
Adapun jenis-jenis kejahatan cybercrime, antara lain :
1. Pengiriman dan penyebaran virus.
2. Pemalsuan identitas diri.
3. Penyebar-luasan pornografi.
4. Penggelapan data orang lain.
5. Pencurian data.
6. Pengaksesan data secara illegal (hacking).
7. Pembobolan rekening bank.
8. Perusakan situs (cracking).
9. Pencurian nomer kartu kredit (carding).
10. Penyediaan informasi palsu atau menyesatkan.
Beberapa masalah cybercrime yang terjadi di Indonesia adalah Penipuan berkedok undian berhadiah. Penipuan bermodus undian berhadiah mencatut nama perusahaan operator telepon seluler.
Bahkan pelaku sempat benar-benar mengirim hadiah agar korban percaya dan setelah itu uang para pelaku amblas hilang diambil oleh para pelaku.
Paper ini merupakan kajian terhadap bentuk-bentuk cybercrime sebagai sebuah kejahatan, pengaturannya dalam sistem perundang-undangan Indonesia dan hambatan- hambatan yang ditemukan dalam penyidikan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut yang telah diuraikan maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur-unsur tindak pidana penipuan ?
2. Bagaimana proses tranformasi barang bukti menjadi alat bukti dalam tindak pidana melalui sarana Short Message Service ?
3. Bagaimana bentuk-bentuk Cybercrime di Indonesia?
4. Apakah undang-undang yang berlaku di Indonesia dapat diterapkan terhadap semua bentuk Cybercrime tersebut?
5. Masalah-masalah apa saja yang ditemukan dalam proses penyidikan terhadap Cybercrime?

PEMBAHASAN 

1. Unsur-unsur tindak pidana penipuan
Istilah Perbuatan Pidana dan Unsur-unsurnya Sebagaimana kita ketahui bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Ada istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana” istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak dalam perundang – undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak – gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal tindak – tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan sering dipakai “ditindak.” Oleh karena itu, “tindak” sebagai kata begitu dikenal , maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana dalam pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasan hampir dipakai pula kata perbuatan.
Istilah “peristiwa pidana,” tindak pidana dan sebagainya, sama dengan istilah belanda “strafbaar feit.” Apakah istilah “perbuatan pidana” itu dapat disamakan dengan istilah belanda “strafbaar feit”. Untuk menjawab ini Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab:Van Hamel merumuskan sebagai berikut :
strafbaar feitadalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang – undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.”
jika melihat pengertian-pengertian ini, maka disitu pada pokoknya ternyata :
(a) Bahwa feit dalam strafbaar feitberbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan + kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan kata lain sama dengan kelakuan akibat dan bukan dan bukan kelakuan saja. Sebetulnya Simons juga pernah mengatakan bahwa strafbaar itu bukan kelakuan saja. Menurut Simons “strafbaar feit” itu sendiri terdiri dari handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat)

(b) Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang melakukan kejadian tadi. Ini berbeda dengan perbuatan pidana sebab ini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjukan kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan acaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang itu benar – benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana juga dipisahkan dari kesalahan. Lain halnya strafbaar feit, tercakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan.

Pada hakekatnya tiap – tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsus-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.
Hal yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana adalah : 1. Kelakuan dan akibat,dan 2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Hal ikhwal mana yang disebut diatas, oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan:
a. Yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, dan
b. Yang mengenai hal – hal di luar diri si pembuat.
Dalam suatu rumusan perbuatan pidana yang tertentu, terkadang dijumpai
adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu pula ; misalnya dalam Pasal 165 ayat (1) KUHP: kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika diketahui akan terjadi suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana, kalau kejahatan tadi kemudian betul – betul terjadi. Hal kemudian terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
Pada Pasal 531 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya sendir atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah.”.

keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika seseorang tidak memberi pertolongan terhadap orang yang dalam bahaya, maka orang tadi baru melakukan perbuatan pidana apabila orang yang dalam bahaya tersebut meninggal. Hal ikhwal tambahan ini disebut syarat – syarat tambahan untuk dapat dipidananya seseorang. Keadaan – keadaan yang terjadi kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan, dinamakan unsur tambahan. Alasan untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan penggangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi pidana.

Sekarang soalnya ialah apakah hal ikhwal tambahan tadi sungguh merupakan elemen atau unsur perbuatan pidana? Banyak penulis belanda rupanya berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan elemen strafbaar feit, sekalipun tambahan. Meskipun demikian, menurut prof. Moeljatno hal tersebut tidak perlu dialihkan begitu saja untuk perbuatan pidana, lebih – lebih bahwa diantara mereka yang tidak memandangnya sebagai elemen strafbaar feit, adalah misalnya Van Hamel,menurut beliau,syarat tambahan tidak mengenai strafbaar feit, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang ditimbulkannya kemudian daripada perbuatan, memberi kepadanya sifat dilarangnya perbuatan tersebut. Juga tidak mungkin keadaan yang dengan demikian tadi menghilangkan sifat tersebut. Yang
mungkin ialah bagi pembuat undang – undang untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilarang tadi menjadi “patut dipidana.” Menurut Simons syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai elemen strafbaar feit yang sesungguhnya. Maka dari itu, bertalian dengan pendapat-pendapat di atas, Prof. Moeljatno lebih condong untuk memandangannya bukan sebagai elemen perbuatan pidana, tetapi sebagai syarat penuntutan, artinya
meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi sudah merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sanksi pidana. Jadi untuk menuntut supaya perbuatannya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan. Karenanya, dalam pasal – pasal yang dimaksud seyogyanya bagian rumus delik yang sesungguhnya adalah syarat penuntutan itu, dikeluarkan dari dari rumusan tersebut, dan dijadikan ayat atau pasal tersendiri.

Dalam KUHP tindak pidana penipuan diatur pada Pasal 378 yaitu:
“barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atrau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadan palsu, baik dengan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang,dihukum karena penipuan, dengan hukumam penjara selama – lamanya empak tahun.”
Dalam pasal tersebut diatas ada beberapa unsur yaitu:

a) Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.
b) Maksud pembujukan itu adalah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak.
c)     Membujuk itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akalcerdik (tipu muslihat) atau karangan perkataan bohong.

2. Tinjauan Umum Mengenai Pembuktian

Untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Berkenaan dengan pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang – undang pidana lainnya, sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Atau memang kalau ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman. Atau memang kalau ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat. Tetapi hukuman harus seimbang dengan kwsalahannya. Socrates pernah mangatakan bahwa: “lebih baik melepaskan seribu orang penjahat daripada menghukum seorang yang tidak bersalah.

    Pembuktian merupakan bagian terpenting dalam proses persidangan,
sehingga dapat dikatakan sebagai titik sentral dari seluruh tahapan hukum acara pidana, karena melalui pembuktian merupakan suatu upaya yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, yang tujuannya adalah untuk memperoleh kebenaran terhadap:
a. Perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan;
b. Apakah telah terbukti terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya.

 Berdasarkan hukum acara pidana, “pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempert
ahankan kebenaran. “baik hakim, terdakwa, penuntut umum, maupun penasehat hukum, masing –masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang – undang. Hakim, penuntut umum, terdakwa, dan penasihat hukum tidak dapat dengan leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam menggunakan alat bukti, semua pihak tidak dapat bertentangan dengan undang – undang. Terdakwa tidak dapat leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah di atur dalam undang-undang. Hal ini juga terutama berlaku untuk majelis hakim yang menangani perkara. Mereka harus cermat dan teliti dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditentukannya selama pemeriksaan sidang pengadilan.

A. teori Pembuktian Negatif (Negative Wettelijk)

 Sistem ini dapat dikatakan sebagai penggabungan antara system pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian menurut undang – undang secara negatif merupakan suatu sistem keseimbangan dalam sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.
Berdasarkan keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang – undang secara negatif mengakomodasi sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim belaka. Dengan demikian perumusan hasil penggabungan ini menjadi, “salah tidaknya sorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkann kepada cara dan dengan alat – alat bukti yang sah menurut undang-undang.”
Hal ini berarti pembuktian terhadap benar atau salahnya terdakwa ditentukan berdasarkan keyakinan hakim yang dilandasi pada cara dan alat
bukti yang sah menurut undang –undang. Cara dan alat bukti yang sah tersebut harus saling mendukung, walaupun keyakinan hakim yang paling dominan. Seorang terdakwa baru dapat dikatakan bersalah apabila kesalahan kesalahan yang didakwakan terhadapnya dbuktikan dengan cara
dan alat bukti yang sah menurut undang – undang sekaligus keterbuktian kesalahan tadi diikuti dengan keyakinan hakim. Untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dang dengan alat bukti yang sah menurut undang – undang;
2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang – undang.

Dengan demikian , sistem ini memadukan unsur objektif dan unsur subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Jika salah satu diantara unsur itu tidak ada, tidak cukup untuk mendukung keterbuktian salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang dominan diantara unsur tersebut. Misalnya, andaikan dalam proses pembuktian kesalahan terdakwa ditinjau dari segi cara dan dengan alat – alat bukti yang sah menurut undang – undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar – benar yakin terdakwa sungguh – sungguh bersalah terdakwa melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat – alat bukti yang sah menurut undang – undang. Dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua unsur tersebut harus saling mendukung.

B. Teori Pembuktian Positif (Positive Wettelijk)

 Dalam pembuktian ini keyakinan haklim tidak berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Untuk menentukannya dilandasi pada prinsip pembuktian dengan alat – alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Melalui sistem ini undang – undang menetapkan alat bukti yang dapat dipergunakan oleh hakim, cara hakim menggunkan alat bukti, serta kekuatan pembuktian alat bukti yang demikian rupa digunakan dalam persidangan. Jika alat bukti tersebut telah dipergunakan secara sah seperti yang ditetapkan undang – undang, hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti. Hal ini meskipun hakim berkeyakinan yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Teori ini berarti menuntut hakim untauk mencari
dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara berdasarkan undang – undang dan hakim harus mengesampingkan fakta keyakinan. Simon perpandangan sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan ketat menurut peraturan perundang – undangan pembuktian yang ketat. Teori ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor dalam acara pidana. Dalam sistem ini, hakim seolah – olah hanya bersikap sebagai robot pelaksana undang – undang yang tidak memiliki hati nurani dan hanya menjadi alat perlengkapan pengadilan.
Sistem ini berkembang pada jaman pertengahan di Eropa dan hakim hanya mencocokkan sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang sudah terpenuhi dan undang-undanglah yang berkuasa menentukan terbukti tidaknya sesorang dalm suatu perkara.

C.Teori Pembuktian Bebas Berdasarkan Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)

 Sistem pembuktian ini merupakan sistem dimana keyakinan hakim berperan penting, tetapi hakim baru dapat menhukum terdakwa apabila telah diyakini perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti kebenaranya dan keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan yang berdasarkan suatu rangkaian pemikiran (logika) yang dapat diterima secara rasional.
Dengan sistem pembuktian ini hakim dituntut untuk dapat menggunakan logika rasionalnya. Disamping itu, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan harus dapat diterima akal sehat. Hal demikian disebabkan sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu. Akan tetapi karena tidak ditetapkan oleh undang – undang dan banyaknya alat bukti untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa merupakan wewenang hakim sepenuhnya, asalkan hakim dapat menjelaskan alasannya.

3. Bentuk bentuk Cyber Crime
Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual.
Istilah cyberspace muncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984. Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry Barlow pada tahun 1990.
Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir.
Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet.
Perkembangan teknologi komputer juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan Cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain.
Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering disebut dengan cracker. Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime merupakan suatu perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap atau memberi stigma bahwa cracker adalah penjahat. Perbuatan cracker juga telah melanggar hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan dalam The Declarationof the Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben. David I. Bainbridge mengingatkan bahwa pada saat memperluas hukum pidana, harus ada kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat dibedakandengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.
Jadi secara garis besar Cybercrime adalah tidak criminal yang dilakkukan dengan menggunakan teknologi computer sebagai alat kejahatan utama.
Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi computer khusunya internet.
Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet.
Modus Penipuan berkedok undian berhadiah :
A. Setiap sms penipuan selalu disertakan link/url website (blog)
B. Para penipu melakukan penipuan undian berhadian dengan mengatas namakan berbagai  perusahaan besar seperti : PT. Unilever, PT Sari Husada, PT.Frisian Flag Indonesia, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PT.Kao Indonesia, PT. Santos Jaya Abadi, PT.Garuda Food, PT. Sari Husada.
C. Penipu selalu mencantumkan link/tautan menuju salah satu website yang mereka buat sendiri.
Contoh kasus kejahatan Penipuan berkedok Undian berhadiah
Sekarang dengan semakin mudahnya akses internet, gadget, smartphone, web gratis, serta blog gratis, mereka melakukan penipuan secara lebih sporadis.
Tidak luput juga dengan aplikasi pesan singkat berbasis internet seperti whatsapp dan aplikasi lainnya yang mereka gunakan untuk meyasar calon korban penipuan yang masih mereka anggap bodoh. Siapa sebenaranya yang bodoh? Sang penipu atau masyarakat?

Pelaku penipuan berkedok undian mengganggap calon korban itu bodoh? Ya.. sepertinya seperti itu.
Meskipun menggunakan sms namun pada setiap sms penipuan selalu disertakan link/url website (blog) yang seolah-olah bahwa program undian tersebut memang benar-benar ada. Mereka (para penipu) melakukan penipuan undian berhadian dengan mengatasnamakan berbagai perusahaan besar seperti PT. Unilever, PT Sari Husada, PT.Frisian Flag Indonesia, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PT.Kao Indonesia, PT. Santos Jaya Abadi, PT.Garuda Food, PT. Sari Husada.

Mereka menganggap bahwa dengan sms yang disertai link tautan (baca: URL/alamat website), calon korban akan merasa yakin mendapatkan hadiah dari perusahaan tertentu. Apalagi di setiap website palsu tersebut selalu disertai data foto dan testimoni/bukti dari para pemenang sebelumnya (dalam hal ini pemenang bohongan untuk mengelabuhi si calon korban yang membuka website/blog tersebut).
Websitenya pun terlihat sangat bagus dan rapih, lengkap dengan no.telp dan nama pemimpin perusahaan. Ada juga website yang sangat mirip website aslinya.
Pada tanggal 30 Okt 2015 Tim dari Direktoral Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah berhasil membongkar sindikat penipuan yang modus undian berhadiah yang kerap menyasar masyarakat di beberapa daerah. Menurut Kasubdit Jatanras Ajun Komisaris Besar Taufan, komplotan penipuan undian berhadiah tersebut berhasil ditangkap di sebuah rumah kontrakan di Perumahan Griya Payung Asri Banyumanik, Semarang, Jaya Tengah, pada kamis dini hari lalu. Dalam penggerebekan, polisi berhasil meringkus tujuh orang pelaku yang tergabung dalam kelompok Sulawesi di bawah pimpinan Firdaus, lelaki berusia 26 tahun warga Rijang Pitu Kecamatan Maritanggae Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Selain tersangka Firdaus, enam tersangka lainnya adalah Sudarmin (34), Anto Laope (26), Laonding (38), Kasmir (21) dan Zaenal (37).
         “Setiap hari mereka bisa dapat hasil 10 juta. Hasil itu kemudian dibagi sesuai tugasnya masing-masing”, kata Gagas, Direktur Kriminal Umum Polda Jateng. Para tersangka tersebut akan dijerat pasal 378 dan pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara.

4. Pengaturan Cybercrime dalam Perundang-undangan Indonesia
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai kejahatan komputer termasuk cybercrime. Mengingat terus meningkatnya kasus-kasus cybercrime di Indonesia yang harus segera dicari pemecahan masalahnya maka beberapa peraturan baik yang terdapat di dalam KUHP maupun di luar KUHP untuk sementara dapat diterapkanterhadap beberapa kejahatan berikut ini:
a. Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer) Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer belum ada diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan. Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: · Akses ke jaringan telekomunikasi, · Akses ke jasa telekomunikasi, · Akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b. Data Interference (mengganggu data komputer) dan System interference (mengganggu sistem komputer) Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam Cybercrime. Jika perbuatan data interference dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.
c. Illegal Interception in the computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap operasional komputer, sistem, dan jaringan komputer) Pasal 40 Undang-Undang Telekomunikasi dapat diterapkanterhadap jenis perbuatan intersepsi ini. Pasal 56 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan 13 ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 40 tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
d. Data Theft (mencuri data) Perbuatan melakukan pencurian data sampai saat ini tidak ada diatur secara khusus, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Pada kenyataannya, perbuatan Illegal access yang mendahului perbuatan data theft yang dilarang, atau jika data thef diikuti dengan kejahatan lainnya, barulah ia menjadi suatu kejahatan bentuk lainnya, misalnya data leakage and espionage dan identity theft and fraud. Pencurian data merupakan suatu perbuatan yang telah mengganggu hak pribadi seseorang, terutama jika si pemiik data tidak menghendaki ada orang lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya tersebut. Jika para ahli hukum sepakat menganggap bahwa perbuatan ini dapat dimasukkansebagai perbuatan pidana, maka untuk sementara waktu Pasal 362 KUHP dapat diterapkan.
e. Data leakage and Espionage (membocorkan data dan memata-matai) Perbuatan membocorkandan memata-matai data atau informasi yang berisi tentang rahasia negara diatur di dalam Pasal 112, 113, 114, 115 dan 116 KUHP. Pasal 323 KUHP mengatur tentang pembukaan rahasia perusahaan yang dilakukan oleh orang dalam (insider). Sedangkanperbuatan membocorkandata rahasia perusahaan dan memata-matai yang dilakukan oleh orang luar perusahaan dapat dikenakanPasal 50 jo. Pasal 22, Pasal 51 jo. Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 57 jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Telekomunikasi.
f. Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan komputer), Perbuatan Misuse of devices pada dasarnya bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri, sebab biasanya perbuatan ini akan diikuti dengan perbuatan melawan hukum lainnya. Sistem perundang-undangan di Indonesia belum ada secara khusus mengatur dan mengancam perbuatan ini dengan pidana. Hal ini tidak menjadi persoalan, sebab yang perlu diselidiki adalahperbuatan melawan hukum apa yang mengikuti perbuatan ini. Ketentuan yang dikenakan bisa berupa penyertaan (Pasal 55 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) ataupun langsung diancam dengan ketentuan yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang menyertainya. 14
g. Credit card fraud (penipuan kartu kredit) Penipuan kartu kredit merupakan perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer dan kartu kredit yang tidak sah sebagai alat dalam melakukan kejahatannya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
h. Bank fraud (penipuan bank) Penipuan bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
i. Service Offered fraud (penipuan melalui penawaran suatu jasa) Penipuan melalui penawaran jasa merupakan perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer sebagai salahsatu alat dalam melakukan kejahatannya sehingga dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
j. Identity Theft and fraud (pencurian identitas dan penipuan) Pencurian identitas yang diikuti dengan melakukan kejahatan penipuan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
k. Computer-related betting (perjudian melalui komputer) Perjudian melalui komputer merupakan perbuatan melakukan perjudian biasa yang menggunakan komputer sebagai alat dalam operasinalisasinya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 303 KUHP. 15

5. Permasalahan dalam Penyidikan terhadap Cybercrime Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:

a) Kemampuan penyidik Secara umum penyidik Polri masihsangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah: Kurangnya pengetahuan tentang komputerdan pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas. Tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat pendidikankhusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime. Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikanserta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.

b) Alat Bukti Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:  Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah. · Kedudukan saksi korbandalam cybercrime sangat penting disebabkancybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korbanseringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasanhasil penyidikan. Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara PemeriksaanSaksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkankemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidanganmengingat jauhnya tempat kediamansaksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilanuntuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akandinyatakan bebas. Mengingat karakteristik 16  Cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpandi dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.

c) Fasilitas komputer forensik Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data- data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas komputer forensik yang memadai. 17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan diseluruh materi yang diuraikan mengenai permasalahan yang dikemukakan tentang Aspek Hukum Pembuktian Penipuan berkedok undian melalui Media Elektronik, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana penipuan apabila terpenuhi unsur-unsurnya yang sesuai menurut Undang-undang, adapun unsur -unsurnya adalah barang siapa, memalsukan nama yang sebenarnya atau tanda yang asli, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan bohong hendak untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain dengan melawan hak.

2. Menurut ketentuan pasal 187 KUHAP, surat yang dinilai sebagai alat bukti yang sah adalah surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat dalam bentuk print out, apabila dilengkapi dengan keterangan seorang ahli yang kompeten dibidangnya dalam hal ini haruslah seorang pakar teknologi komunikasi, atau yang karena pekerjaannya dan jabatannya ditunjuk oleh telepon seluler, dan juga menjadi keterangan dari seorang ahli berdasarkan keahliannya dari suatu hal.

3.    Bahwa sistem pembuktian terdiri dari dua jenis, yaitu sistem pembuktian ditinjau dari segi doktrin dan alat menurut KUHAP. Teori pembuktian menurut doktrin antara lain: Teori Pembuktian Negatif, Teori Pembuktian Positif, Teori Pembuktian Bebas, Teori Pembuktian Subyektif Murni atau Keyakinan Semata. Alat bukti yang sah menurut KUHAP antara lain; Keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, petunjuk, keterangan terdakwa.

judul : Tindak Pidana Penipuan Cybercrime
Matkul : Etika Profesi

Semoga artikel ini bermanfaat, Jika tidak keberatan mohon clik iklan di web blog ini, demi keberlangsungan web blog ini.. 🙂 terimakasih

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You May Also Like